Di Balik PP TUNAS: Perlindungan Anak atau Sekadar Formalitas?

Oleh Novi WidiastutiPegiat Literasi
Senin, 15 Desember 2025 / 25 Jumadilakhir 1447 14:52
Di Balik PP TUNAS: Perlindungan Anak atau Sekadar Formalitas?
Di Balik PP TUNAS: Perlindungan Anak atau Sekadar Formalitas?

Layar ponsel kini menjelma menjadi “ruang bermain” baru bagi anak-anak. Ruang yang terbuka tanpa pagar pengaman, tanpa pengawasan, dan kerap tanpa peringatan apa pun. Di balik video-video menggemaskan dan game yang tampak menghibur, tersimpan ancaman serius, tayangan kekerasan, konten pornografi, ujaran kebencian, hingga jebakan senyap para predator digital yang mengintai anak-anak tanpa disadari.

UNICEF mencatat fakta mencengangkan, satu dari dua anak Indonesia telah terpapar konten dewasa di internet. Pada saat yang sama, anak-anak menghabiskan rata-rata 5,4 jam per hari di dunia maya ruang tanpa pagar yang membiarkan mereka berhadapan langsung dengan konten yang jelas merusak dan tak layak usia.

Ancaman lain datang dari perundungan digital yang tak bersuara namun menghancurkan. Hampir 70% pelajar SMA mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Setiap pesan, komentar, dan notifikasi bisa berubah menjadi serangan mental yang menggerogoti rasa aman, meruntuhkan harga diri, bahkan memadamkan harapan hidup.

Dampaknya tampak nyata. Sekitar 17 juta remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental. Media sosial disebut para ahli sebagai pemicu yang memperparah tekanan. Budaya membandingkan diri, komentar kejam, dan tuntutan tampil sempurna, membuat anak anak merasa gagal menjadi diri sendiri. Tak sedikit yang akhirnya memilih jalan paling tragis hingga mengakhiri hidupnya.

Di tengah situasi ini, negara akhirnya turun tangan lewat PP Nomor 17 Tahun 2025 (PP TUNAS). Aturan ini dijanjikan sebagai tameng untuk melindungi anak di ruang digital. Namun, benarkah tameng itu cukup kuat?

PP TUNAS mewajibkan platform digital menyaring konten berbahaya, menyediakan fitur pelaporan, serta memverifikasi usia pengguna. Di atas kertas, aturan ini tampak tegas. Namun ketika ditelusuri lebih jauh, muncul celah besar. Pemerintah tidak menyebutkan secara jelas media sosial mana yang aman dan mana yang berisiko tinggi bagi anak. Klasifikasi justru diserahkan kepada penilaian platform itu sendiri. Artinya, perusahaan digital diminta menilai bahayanya sendiri, sementara orang tua dibiarkan menebak-nebak risiko di hadapan layar anak mereka.

Pemerintah memberi waktu dua tahun bagi platform untuk menyesuaikan aturan. Komdigi menyatakan platform besar patuh dan tidak keberatan. Namun hingga kini, publik belum diberi akses pada peta pengawasan yang jelas. Siapa yang mengawasi? Bagaimana sanksi dijatuhkan? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung tanpa jawaban.

Kritik pun bermunculan. Kelompok masyarakat sipil mengingatkan, perlindungan anak tidak boleh berubah menjadi pengumpulan data anak. Verifikasi usia berpotensi membuka pintu pelanggaran privasi, apalagi jika data sensitif disimpan tanpa standar keamanan yang jelas. Alih-alih aman, anak justru terancam menjadi objek baru dalam industri data digital.

 

Bukan Sekadar Algoritma: Sistem yang Membentuk Rapuhnya Generasi

Jika ditarik lebih dalam, persoalan anak dan remaja di dunia digital sesungguhnya tidak bermula dari layar ponsel. Media sosial bukan sumber pertama masalah, melainkan cermin besar yang memantulkan dan memperbesar apa yang sudah rapuh di dalam diri anak. Kecemasan, amarah, kesepian, hingga krisis jati diri tidak diciptakan oleh gawai, semua itu sudah ada, lalu menemukan panggungnya di ruang digital.

Media sosial bekerja layaknya kaca pembesar emosi. Perasaan yang goyah menjadi kian tajam, luka batin makin menganga, dan kegelisahan yang semula tersembunyi meledak ke ruang publik. Apa yang seharusnya ditangani dan dipulihkan, justru dipertontonkan, dipicu, dan dibiarkan tumbuh tanpa kendali.

Pertanyaannya kemudian bergeser, mengapa begitu banyak anak tumbuh dengan emosi yang rapuh? Di sinilah jejak masalah sistemik mulai terlihat. Akar persoalan bukan terletak pada teknologi, melainkan pada sistem hidup yang diterapkan secara luas yakni sekularisme-kapitalisme.

Sistem ini memisahkan nilai agama dan moral dari pengaturan kehidupan publik, lalu menggantinya dengan logika pasar dan kebebasan individu. Anak tidak lagi diposisikan sebagai amanah yang harus dilindungi negara, melainkan sebagai subjek bebas dan pada saat yang sama sebagai objek ekonomi.

Dalam sistem kapitalisme digital saat ini, anak-anak kerap dipandang sebagai sasaran empuk yang bernilai tinggi. Perhatian mereka diperebutkan, kebiasaan mereka direkam, dan data mereka dikumpulkan untuk kepentingan bisnis. Cara kerja media sosial pun bukan untuk melindungi, melainkan untuk membuat pengguna betah berlama-lama di layar.

Selama roda keuntungan terus berputar, keselamatan anak sering kali dikesampingkan. Perlindungan hanya menjadi tambahan, bukan tujuan utama. Di sinilah media sosial memperparah persoalan yang sudah ada bukan sebagai penyebab awal masalah, tetapi sebagai pemicu yang mempercepat kerusakan pada anak dan remaja.

Hasil penelusuran juga menunjukkan lemahnya peran negara. Persoalannya bukan sekadar kurang aturan, melainkan kurangnya keberanian politik. Negara tampak memilih jalan aman, tidak berhadapan langsung dengan raksasa platform digital global.

Tanggung jawab perlindungan anak pun dipecah sebagian dibebankan kepada orang tua, sebagian lagi diserahkan kepada korporasi. Negara hadir sebagai regulator administratif, bukan pelindung yang tegas.

Dalam konteks ini, kebijakan seperti pembatasan akses media sosial, termasuk PP TUNAS lebih menyerupai solusi pragmatis. Ia menenangkan keresahan publik, tetapi tidak menyentuh akar masalah.

Fokus kebijakan bertumpu pada media, bukan pada sistem yang membentuk cara hidup, pola asuh, pendidikan, dan orientasi ekonomi. Tanpa kendali negara yang kuat terhadap industri digital dan tanpa perubahan paradigma pengelolaan generasi, regulasi berisiko berhenti sebagai dokumen resmi yang rapi, namun tumpul di lapangan.

 

 

Islam Kompas Generasi di Era Teknologi

Islam memandang bahwa perilaku manusia tidak dibentuk oleh teknologi, melainkan oleh cara berpikir dan keyakinan yang hidup dalam dirinya. Media sosial hanyalah produk peradaban (madaniyah) dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia netral. Yang menentukan arah dampaknya adalah ideologi yang melingkupinya.

Dalam sistem yang menjadikan kebebasan dan keuntungan sebagai nilai tertinggi, media sosial pun bergerak liar, tanpa batas moral. Sebaliknya, dalam sistem yang menjadikan iman dan ketaatan sebagai fondasi, teknologi justru menjadi sarana kebaikan dan dakwah. Karena itu, solusi hakiki tidak dimulai dari membatasi layar, melainkan dari membangun benteng keimanan.

Negara memiliki peran sentral dalam membentuk cara pandang generasi. Melalui sistem pendidikan Islam, anak tidak hanya diajarkan membaca dan berhitung, tetapi dikenalkan pada tujuan hidup, halal dan haram, tanggung jawab, serta kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Dengan fondasi ini, generasi mampu bersikap bijak bukan karena diawasi, tetapi karena memiliki kesadaran iman yang hidup di dalam dirinya.

Namun, pendidikan saja tidak cukup jika lingkungan sosial bertentangan dengan nilai yang diajarkan. Di sinilah Islam menegaskan pentingnya penerapan syariat secara menyeluruh. Dalam naungan Khilafah, syariat Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan dari pendidikan, media, ekonomi, pergaulan, hingga sistem informasi.

Negara tidak membiarkan industri digital berjalan semata demi keuntungan, tetapi mengaturnya agar sejalan dengan akidah dan akhlak Islam. Konten, algoritma, dan ruang publik diarahkan untuk menjaga kemuliaan manusia, bukan merusaknya.

Ketika syariat menjadi ruh kehidupan, anak tumbuh dalam ekosistem yang sehat, keluarga yang terjaga, masyarakat yang peduli, dan negara yang berfungsi sebagai pelindung, bukan sekadar regulator. Generasi tidak lagi dibiarkan sendirian menghadapi badai zaman, tetapi ditopang oleh sistem yang selaras dengan fitrah manusia.

Perubahan besar ini tidak akan lahir tanpa kesadaran bersama. Tanggung jawab tidak hanya berada di pundak negara, tetapi juga seluruh generasi umat Islam. Orang tua, pendidik, ulama, dan masyarakat harus bersatu memahami bahwa krisis generasi hari ini adalah buah dari sistem yang salah. Kesadaran ini harus diiringi dengan perjuangan kolektif untuk menghadirkan kembali Islam sebagai ideologi yang mengatur kehidupan.

Inilah jalan perubahan yang ditawarkan Islam, bukan tambal sulam kebijakan, tetapi perubahan mendasar dari cara berpikir hingga sistem hidup. Sebab hanya dengan Islam yang diterapkan secara kaffah, generasi dapat tumbuh menjadi taat dalam iman, matang dalam sikap, dan tangguh menghadapi zaman.

Wallahua'lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya

media sosialPP Tunas