Sebuah riset menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas dalam penggunaan ponsel di dunia. Warga RI dinilai sudah mengalami kecanduan akut, karena menurut laporan digital 2025 Global Overview, 98,7 persen penduduknya yang berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online. Selain itu rata-rata waktu yang digunakan untuk berselancar di dunia maya mencapai tujuh jam 38 menit. (CNBC Indonesia, 29/11/2025)
Di sisi lain, dari hasil program pemeriksaan kesehatan gratis yang diselenggarakan Kemenkes, dari yang diperiksa sekitar 20 juta jiwa ditemukan sekitar dua juta anak terindikasi mengalami gangguan mental. Kenyataannya bisa lebih banyak lagi karena belum semua mengikuti cek kesehatan. Menurut pemerhati kebijakan kesehatan dr. Arum Harjanti, hal itu terjadi karena banyak faktor seperti genetika, ekonomi, fisik dan sosial. Tidak ada penyebab yang dominan, semuanya saling mempengaruhi. Namun mayoritas gangguan mental ini penyebabnya dari luar, dan itu merupakan sebab non klinis.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia belum membuat batasan di usia berapa anak boleh menggunakan gawai. Padahal dampaknya nyata, media sosial dan juga AI berbahaya bagi kesehatan mental. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun tahun 2024 ada 39,71 persen anak usia dini di negara ini sudah menggunakan ponsel dan 35,57 lainnya sudah mengakses internet. Hingga tahun 2025, perkembangannya terus dipantau, tapi keadaannya makin mengkhawatirkan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno menghimbau dan mengintervensi secara komprehensif supaya anak tidak tergantung pada gawai. Kementerian menyediakan fasilitas yang bisa mendorong aktivitas sosial secara langsung yang tentunya diharapkan bisa mengurangi masalah kesehatan mental. Namun bisakah itu berhasil? Mengingat karakteristik medsos tak ubahnya seperti candu yang membuat penggunanya menjadi ketagihan. Mayoritas di antara mereka adalah gen z yang sifatnya mudah beradaptasi dan mahir menggunakan alat-alat canggih. Dengan begitu generasi muda ini akan terbajak potensinya akibat penggunaan gadget dan keterlibatannya di dunia maya. Sehingga akhirnya tidak mustahil mereka menjadi orang-orang yang malas berpikir, bermental lemah dan merasa sepi meski di tengah keramaian.
Hal ini merupakan akibat yang pasti terjadi karena penerapan sistem sekuler kapitalis. Mark Zuckerberg, pemilik perusahaan yang menaungi facebook, pernah menyampaikan permohonan maafnya kepada para orangtua yang anaknya menjadi korban eksploitasi dan pelecehan seksual melalui medsos. Namun dia tidak otomatis menutup korporasi globalnya, walaupun sudah jatuh korban. Baginya bisnis tetap bisnis. Bahkan bersama empat koleganya, mereka berdalih bahwa belum ada bukti penelitian yang menjelaskan ada keterkaitan antara aktif di dunia maya dengan kesehatan mental yang buruk atau lebih buruk. Mereka mengklaim sudah berusaha meningkatkan keselamatan dan keamanan produknya.
Lebih dari itu, para pemilik perusahaan medsos ini mendorong para orangtua untuk mengontrol dan menetapkan batas waktu penggunaan gadget. Mereka juga menyarankan sebagai bentuk kontrolnya dengan melihat siapa saja yang berinteraksi dengan anak-anak mereka di dunia maya. Bukannya intropeksi, para CEO ini, justru memproduksi alat baru yang diklaim bisa mengurangi bahaya yang ditimbulkan pada anak-anak ketika online. Hal ini menjelaskan bahwa strategi bisnis terus diciptakan oleh para kapitalis digital tidak peduli meski itu bisa merusak mental generasi muda.
Dalam sistem sekuler kapitalisme, para pengusaha digital atau apa pun hanya memperhatikan keuntungan bisnis. Mereka tidak mengurusi mental generasi. Sehingga menyedihkan sekali ketika Indonesia dipandang sebagai pasar yang prospektif bagi produk-produk mereka. Sementara pemerintah negeri ini tidak gerak cepat dalam melindungi rakyat, terutama generasi mudanya dari akibat buruk teknologi informasi ini. Negara selalu kalah cepat dan tidak tegas terhadap serangan invasi, bahkan tampaknya tidak mempunyai komitmen untuk melindungi warganya. Harus ke mana umat mengadu dan berharap perlindungan?
Sekuler kapitalisme berbeda dengan sistem Islam (khilafah). Khilafah memiliki kemampuan melindungi generasi muda. Di masa kejayaannya para pemuda dilindungi dan dijaga dengan tata aturan syariah yang menjadikan mereka remaja cerdas berkualitas. Mereka adalah aset bangsa bagi masa depan peradaban. Perangkat hukum ini berfungsi menjaga keluarga-keluarga muslim dan non muslim agar terlindungi dari kehancuran. Allah Swt. sudah mengingatkan orang yang beriman agar mereka tidak meninggalkan keturunan yang lemah iman, fisik, ibadah, ilmu dan ekonomi. Pendidikan dimulai di tengah keluarga, masyarakat hingga negara. Demi menciptakan umat yang berguna, membawa berkah dan bahagia dunia serta akhirat. Allah berfirman dalam QS an-Nisa ayat 9:
"Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
Ajaran Islam yang diterapkan negara mampu mewujudkan generasi yang kuat. Dimulai dari pengelolaan hak anak, kondisi sosial masyarakat terjaga hingga para penguasa yang berperan sebagai pengurus (raa'in) dan pelindung (junnah). Syekh Taqiuddin an-Nabhani telah menjelaskan dalam kitab Sistem Pergaulan Islam, bahwa setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan dalam bentuk penyusuan dan perlindungan. Peran ibu sangat penting di awal hidup manusia sebagai madrasah al-ula (sekolah pertama). Pada masa emas ini, standar kebahagiaan harus mulai diarahkan pada konsep keridaan Allah. Itulah yang akan menjadi bekal penting ketika mereka menjadi mukallaf (terbebani hukum).
Sebelum mukallaf anak-anak harus dididik di tengah keluarga dengan standar agama. Kemudian harus ada sinergi dengan lingkungan mayarakat dalam rangka amar ma'ruf nahi mungkar. Selain itu negara menerapkan kurikulum pendidikan yang telah terbukti bisa mencetak generasi beriman dan bertakwa. Tidak ada gawai atau medsos dalam seluruh prosesnya sampai anak mengerti bahwa ponsel hanya alat untuk memudahkan tugasnya sebagai individu yang berguna di tengah umat. Gadget bukan sumber kebahagiaan anak, jangan sampai ada slogan "lahir dari manusia, diasuh sosial media" pada diri anak muslim.
Mengenai media informasi, hukum asalnya adalah mubah. Khilafah akan mengaturnya, termasuk mengatur konten dan produksi perangkatnya. Pengaturan ini berfungsi secara integral dengan konsep penjagaan generasi dan disesuaikan dengan kebutuhan di setiap jenjang pendidikan atau usia anak. Sehingga tidak kebablasan seperti di sistem kapitalisme. Kebijakannya terkait gawai, liberal dan hedonistik. Karena hukumnya mubah, maka diarahkan untuk sesuatu yang berguna dan tidak melalaikan. Sementara perangkatnya, jika pun harus impor transaksinya harus diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak menjadi target pasar negara kafir. Selain itu informasi digital yang ada di dalamnya diarahkan untuk dakwah, ketakwaan dan amal salih. Tidak boleh ada pornografi, game online, judol, pinjol dan medsos yang tanpa batas.
Untuk semua tujuan itu, Khilafah akan berdiri sebagai negara adidaya dengan penerapan sistem ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan dan lain-lain sesuai Islam. Terutama dalam bidang hukum akan diterapkan dengan tegas dan adil sehingga kejahatan di dunia maya akan dikenakan sanksi yang menjerakan. Dengan demikian akan terwujud generasi berkualitas, beriman dan bertakwa sehingga tidak mudah dirusak oleh penjajah kafir lewat invasi konten media online.
Wallahu a'lam bis shawab
