Gen Z di Era Digital dalam Ilusi Kebebasan di Bawah Hegemoni Sekuler

Oleh Tiktik Siti MukarromahPegiat Literasi
Sabtu, 20 Desember 2025 / 30 Jumadilakhir 1447 15:11
Gen Z di Era Digital dalam Ilusi Kebebasan di Bawah Hegemoni Sekuler
Gen Z di Era Digital dalam Ilusi Kebebasan di Bawah Hegemoni Sekuler

Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara mendasar. Media sosial tidak lagi sekadar sarana komunikasi, melainkan telah menjadi ruang pembentukan identitas, arena interaksi sosial, sekaligus medan pertarungan gagasan. Dalam konteks ini, Generasi Z tampil sebagai generasi yang paling lekat dengan dunia digital. Mereka lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam kultur media sosial yang menjanjikan kebebasan berekspresi, keterbukaan, dan peluang partisipasi publik yang luas. Namun, di balik janji kebebasan tersebut, tersimpan persoalan mendasar yang jarang disentuh secara ideologis. Benarkah Gen Z hidup dalam kebebasan, atau justru tengah terjerat dalam ilusi kebebasan yang diciptakan oleh sistem sekuler-kapitalistik?

Fakta-fakta sosial menunjukkan bahwa media sosial justru menjadi ruang yang sarat tekanan. Standar kecantikan yang tidak realistis, gaya hidup mewah yang dipertontonkan tanpa henti, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik dan relevan telah membentuk kultur pembandingan yang akut. Identitas diri tidak lagi dibangun di atas penerimaan dan kesadaran akan jati diri sebagai manusia, melainkan diukur melalui validasi digital berupa jumlah like, komentar, dan pengikut. Akibatnya, banyak anak muda hidup dalam kegelisahan eksistensial, merasa tidak cukup baik, tidak cukup menarik, dan tidak cukup bernilai jika tidak diakui oleh publik maya.

Tekanan ini tidak berhenti pada persoalan citra diri, tetapi merembet serius ke ranah kesehatan mental. Meningkatnya kecemasan, depresi, dan ketakutan bersuara di kalangan remaja dan pemuda menunjukkan bahwa ruang digital bukan ruang yang aman dan netral. Kebebasan berekspresi yang diagungkan justru sering dibatasi oleh ketakutan akan perundungan, hujatan, dan pengucilan sosial. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya bersifat semu karena ekspresi hanya dianggap sah sejauh sesuai dengan arus mayoritas dan kepentingan algoritma. (DetikNews, 21/4/2025)

Islam memandang fenomena ini bukan sekadar sebagai problem psikologis atau sosial, melainkan sebagai akibat langsung dari dominasi ideologi sekuler dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, tidak ada ruang kehidupan yang netral nilai. Setiap sistem, termasuk sistem digital, pasti dibangun di atas akidah tertentu. Media sosial hari ini berdiri di atas akidah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, yang melahirkan kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan liberalisme sebagai cara pandang hidup. Dalam sistem ini, kebebasan individu ditempatkan sebagai nilai tertinggi, sementara halal dan haram disingkirkan dari ruang public demi memuaskan nafsu belaka.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani رحمه الله menjelaskan bahwa setiap peradaban berdiri di atas akidah, dan dari akidah itulah lahir sistem kehidupan. Ketika akidah yang mendasari sebuah sistem rusak, maka kerusakan itu akan menjalar ke seluruh aspek kehidupan manusia. Media sosial yang beroperasi dengan logika kapitalisme digital menjadikan manusia sebagai komoditas. Perhatian, emosi, dan identitas dieksploitasi demi keuntungan. Algoritma tidak bekerja untuk kebenaran, apalagi kemaslahatan, melainkan untuk keterikatan dan profit. Inilah bentuk penjajahan paling halus di era modern penjajahan tanpa senjata, tetapi efektif mengikat kesadaran.

Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya:

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad: 26).

Kebebasan yang dilepaskan dari wahyu pada hakikatnya adalah kebebasan hawa nafsu. Islam tidak menolak kebebasan, tetapi menempatkannya dalam koridor kebenaran. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan dari penghambaan kepada selain Allah, termasuk dari tekanan opini publik dan standar palsu yang dibangun oleh sistem kufur.
Krisis yang dialami Gen Z hari ini sejatinya adalah krisis identitas. Islam telah menetapkan identitas manusia secara jelas yakni sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Nilai diri manusia tidak ditentukan oleh penilaian manusia lain, melainkan oleh ketakwaannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ketika orientasi hidup bergeser dari ridha Allah menuju pencarian pengakuan manusia, maka kegelisahan adalah konsekuensi yang tak terelakkan.

Hasan al-Bashri رحمه الله pernah berkata, “Barang siapa mengenal dirinya sebagai hamba Allah, ia tidak akan mencari kemuliaan di hadapan manusia”. Nasihat ini sangat relevan bagi generasi hari ini. Selama nilai diri ditentukan oleh jumlah like, komentar, dan followers, manusia akan terus berada dalam lingkaran kecemasan yang tak berujung. Islam membebaskan manusia dari lingkaran ini dengan mengembalikan orientasi hidup kepada Allah semata, bukan manusia atau dunia maya.

Di sisi lain, Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang kritis dan responsif terhadap berbagai isu sosial. Aktivisme digital menjadi fenomena yang menonjol. Namun Islam mengajarkan bahwa semangat perubahan harus dibingkai oleh ilmu dan manhaj yang benar. Banyak pergerakan hari ini bersifat reaktif, emosional, dan pragmatis. Ia lantang di permukaan, tetapi rapuh di akar, karena tidak menyentuh sumber masalah yang sesungguhnya.

Syekh Yusuf al-Qardawi رحمه الله mengingatkan bahwa semangat tanpa ilmu akan menyesatkan, dan ilmu tanpa arah akan melemahkan. Aktivisme yang tercerabut dari akidah Islam berisiko terjebak pada performativitas ramai di media sosial, tetapi miskin perubahan hakiki. Padahal Islam mengajarkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak berhenti pada kritik moral individual, tetapi diarahkan pada perubahan sistem yang melahirkan kemungkaran.

Solusi Islam atas problem Gen Z di era digital tidak bersifat parsial atau teknis semata. Islam menawarkan solusi yang mengakar dan ideologis, dimulai dari rekonstruksi paradigma berpikir. Ketika akidah Islam dijadikan landasan berpikir, Gen Z akan mampu membaca realitas secara jernih, membedakan antara kebebasan dan kebablasan, antara ekspresi dan eksploitasi. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan” (QS. Al-Baqarah: 208).

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak dimaksudkan untuk dipraktikkan secara parsial, apalagi direduksi sebatas ritual individual yang terpisah dari realitas kehidupan. Islam bukan sekadar agama dalam pengertian sempit yang hanya mengatur hubungan personal antara hamba dan Rabb-nya, tetapi merupakan sistem hidup yang menyeluruh (kaffah) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam hadir dengan seperangkat aturan, nilai, dan hukum yang membimbing manusia dalam urusan pribadi, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hingga pengelolaan media dan teknologi. Ketika Islam dipisahkan dari ruang publik dan hanya ditempatkan di ranah privat, maka yang tersisa hanyalah simbol-simbol keagamaan yang kehilangan daya transformasinya.

Lebih jauh, ayat tersebut merupakan kritik tegas terhadap praktik keberagamaan yang selektif mengambil sebagian ajaran Islam yang dianggap nyaman, sementara meninggalkan bagian lain yang menuntut perubahan sistem dan struktur kehidupan. Padahal, Islam diturunkan sebagai petunjuk hidup yang sempurna, bukan sekadar pedoman moral individual. Allah SWT tidak hanya memerintahkan shalat dan puasa, tetapi juga menurunkan aturan tentang keadilan sosial, kepemimpinan, muamalah, hingga tata kelola masyarakat. Dengan demikian, menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh berarti menempatkan wahyu sebagai sumber utama dalam berpikir, bersikap, dan mengatur kehidupan, baik pada level individu, masyarakat, maupun negara.

Islam juga menempatkan tanggung jawab penyelamatan generasi sebagai tanggung jawab kolektif. Keluarga berperan sebagai madrasah pertama yang menanamkan akidah dan kepribadian Islam. Masyarakat menjalankan fungsi kontrol sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar. Sementara negara dalam Islam berfungsi sebagai raa’in yaitu pengurus urusan umat yang wajib melindungi generasi dari kerusakan sistemik, termasuk kerusakan yang bersumber dari media dan teknologi.

Dalam sistem Islam, media diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan semata keuntungan. Kebebasan berekspresi dijaga, tetapi tidak dibiarkan merusak akidah dan akhlak. Inilah kebebasan yang hakiki, kebebasan yang membebaskan manusia dari penindasan hawa nafsu dan hegemoni kapitalisme.

Pada akhirnya, problem Gen Z bukanlah problem generasi, melainkan problem ideologi dan sistem. Kebebasan berekspresi yang diagungkan hari ini sering kali hanyalah ilusi dalam kerangkeng sekularisme. Islam hadir sebagai pembebas sejati, yang mengarahkan potensi Gen Z agar tidak hanya kritis, tetapi juga visioner yang tidak hanya lantang, tetapi juga solutif. Tidak hanya aktif di ruang digital, tetapi berperan dalam perubahan peradaban yang hakiki. Dengan Islam sebagai paradigma berpikir dan sistem kehidupan, Gen Z berpeluang menjadi generasi pelanjut risalah generasi yang tidak sekadar mengikuti zaman, tetapi mengubah arah zaman sesuai dengan syariat Islam.

Wallaahu ‘alam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya

internetmedia sosialdigital