Ketika SDA Salah Kelola, Bencana Merajalela

Oleh Ummu Fauzi
Kamis, 11 Desember 2025 / 21 Jumadilakhir 1447 18:47
Ketika SDA Salah Kelola, Bencana Merajalela
Ketika SDA Salah Kelola, Bencana Merajalela

Sumatra berduka, dipenghujung tahun 2025 bencana besar melanda sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh dan beberapa kota lainnya. Kota-kota tersebut diterjang longsor dan banjir kiriman dari hutan yang sudah tidak rimbun lagi. Bencana ini menelan korban yang tidak sedikit.

Menurut data yang dilansir dari cnnindonesia pada tanggal 1/12/2025 pada pukul 17.00 WIB korban sudah mencapai 604 orang meninggal, 464 orang hilang, 2.600 korban luka, 1,5 juta orang terdampak, dan jumlah pengungsi 570 ribu. BNPB juga menyampaikan sebanyak 3,500 rumah rusak berat, 4.100 rusak sedang, 20.500 rusak ringan. 271 jembatan dan 282 fasilitas pendidikan rusak. (cnnindonesia.com 1/12/2025)

Melihat kerusakan yang begitu besar tentu ini bukan bencana biasa, banjir bandang terlihat begitu parah. Bukan cuma air deras yang mengalir, tetapi membawa material yang tidak biasanya yaitu kayu gelondongan yang ikut terbawa arus menerjang pemukiman warga. Selain daya tampung wilayah yang menurun, curah hujan yang tinggi, tentu ada faktor lain yang menyebabkan semua bencana besar ini terjadi.

 

Keserakahan yang Membawa Bencana

Faktor alam dijadikan kambing hitam dalam bencana yang terjadi di Sumatra. Cuaca ekstrim memang ada. Curah hujan yang tinggi di akibatkan oleh adanya siklon tropis senyar dan koto yang terjadi di selat Malaka. Menurut BMKG siklon ini berlangsung tanggal 26 Nopember selama 48 jam. Kemunculan siklon ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah. Tetapi kemunculan kedua siklon ini tidak akan menjadi bencana yang sangat besar apabila keseimbangan alam terjaga.

Beredasarkan data WALHI selama periode 2016-2023 sekitar 1,4 juta hektar lahan yang berada di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh telah mengalami deforestasi. Lahan ini digunakan untuk lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan proyek energi yang telah dilegitimasi oleh penguasa. Kegiatan eksploitasi SDA ini memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.

Bencana yang terjadi saat ini bukan hanya faktor alam atau sekedar ujian semata, tetapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, uu minerba, uu cipta kerja dll).

Fakta sudah di depan mata. Kayu gelondongan yang terpotong rapi, tidak mungkin turun dari langit bersama hujan yang ikut menerjang pemukiman warga. Keserakahan para pengusaha dan penguasa yang membabat hutan menjadi lahan komersial menjadi penyebab semua bencana terjadi begitu dahsyat. Begitulah sikap penguasa yang ada dalam sistem kapitalis. Penguasa dan pengusaha kerap kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Mereka eksploitasi kekayaan alam demi keuntungan materi semata, tanpa memperhatikan lingkungan, karena lingkungan tidak bisa menguntungkan.

 

Akibat Tata kelola yang salah

Musibah banjir dan longsor yang begitu besar menimpa Sumatra tentu saja bukan peristiwa alam yang datang secara tiba-tiba tanpa sebab. Banjir dan longsor menandakan ada yang salah dalam tata kelola sumber daya alam secara struktur dan sistematis yang berulang-ulang. Cuaca ekstrim yang terjadi bukan penyebab utama bencana, tetapi hanya pemicu saja. Semua bencana ini memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran dicurigai menjadi penyebab deforestasi. Hutan-hutan dibabat sehingga tanah kehilangan daya serap dalam menahan air hujan yang deras.

Dalam sistem kapitalis, alam hanya dijadikan objek yang boleh dieksploitasi selama memberikan keuntungan. Ditambah legalitas dari para penguasa dengan alasan pertumbuhan ekonomi. Para pemilik modal menikmati keuntungan yang tiada henti sedangkan rakyat kecil berjuang sendiri tidak pernah menikmati hasilnya, mereka ditinggalkan sendiri saat bencana datang. Inilah efek dari negara yang meninggalkan hukum Allah atau sitem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan penguasa dan pengusaha yang menikmati hasil hutannya dengan berpesta pora.

Menurut Maiyesni sebagai pemerhati kebijakan publik, bencana banjir yang berulang di Sumatra dengan kerusakan yang massif setiap tahunnya merupakan refleksi buruknya tata kelola ruang hidup dalam paradigma kapitalisme yang diterapkan saat ini. Ia menjelaskan ketika kayu-kayu gelondongan diduga kuat berasal dari penebangan, jutaan hektar lahan musnah dalam hitungan dekade, ketika sungai kehilangan daya tampungnya, ketika izin HPH mudah didapat, perkebunan sawit dan pertambangan tumpang tindih di daerah resapan air, maka yang sedang terjadi bukanlah bencana alam tetapi bencana tata kelola.

 

Sistem Islam Menjaga Alam

Allah telah memperingatkan dalam firmannya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar manusia merasakan sebagian dar (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.  (QS Ar-Rum:41)

Al Quran telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat tangan manusia. Sebagai wujud keimanan, umat islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Islam memandang alam sebagai ciptaan Allah yang harus dijaga kelestariannya. Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Negara dalam sistem ini harus menggunakan aturan Allah dalam setiap urusannya, termasuk tanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam dengan menata pengelolaannya sesuai dengan syariat yang diturunkan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam.

Pengaturan kepemilikan dalam Islam bisa dijadikan alat pengendali tata kelola sumber daya alam. Dalam Islam kepemilikan dibagi menjadi 3 yaitu kepemilikan individu, negara dan umum. Kepemilikan umum seperti kawasan hutan lindung, mata air, padang rumput, barang tambang dan lainnya wajib dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Kepemilikan ini tidak boleh dimiliki oleh individu atau asing atau dialih fungsikan untuk keuntungan materi. Sumber daya alam dikelola negara sesuai syariat. Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan.

Islam memandang alam adalah sebagai amanah, bukan komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Negara adalah pelindung dan pelayan rakyat bukan pembela kepentingan pemilik modal. Islam membolehkan pembukaan hutan dan berbagai jenis tambang yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Akan tetapi Islam juga mengharamkan penambangan dan penebangan hutan secara ugal-ugalan yang mengakibatkan dharar (bahaya) yang akan menimpa masyarakat. Dalam sistem ini negara akan melakukan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan tuntunan syariat atas dasar dorongan iman dan takwa, bukan berdasarkan keuntungan semata.

Hanya dengan menerapkan hukum Allah, bencana banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat dapat diminimalisir. Khilafah sebagi pemegang mandat dari Allah akan fokus dalam setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khilafah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai dengan fungsi alami, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri tambang dan semua yang menyangkut kepentingan publik.  Wallahua'lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya

bencana alam