Dualisme PBNU Dinilai “Copy-Paste” Konflik PKB Era Gus Dur–Cak Imin

Ameera
Kamis, 18 Desember 2025 / 28 Jumadilakhir 1447 07:59
Dualisme PBNU Dinilai “Copy-Paste” Konflik PKB Era Gus Dur–Cak Imin
Dualisme PBNU Dinilai “Copy-Paste” Konflik PKB Era Gus Dur–Cak Imin

JAKARTA (Arrahmah.id) - Konflik dualisme kepemimpinan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dinilai bukan fenomena baru, melainkan pengulangan sejarah yang nyaris identik dengan konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 2008 silam.

Penilaian itu disampaikan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Islamic Studies (CSIIS), Soleh Basyari, dalam sebuah wawancara podcast dengan salah satu media.

Soleh menilai, pola konflik yang kini terjadi antara Rais Aam dan jajaran Syuriyah yang berseberangan dengan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU memiliki kemiripan struktural dengan pertarungan antara almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Ketua Dewan Syuro PKB melawan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidz pada 2008.

“Kalau kita melihat NU dan PKB ini seperti copy-paste. Di PKB ada Dewan Syuro, di PBNU ada Rais Aam. Di PKB ada Ketua Dewan Tanfidz, di PBNU ada Ketua Umum Tanfidziyah. Secara struktur organisasi dan AD/ART itu 11-12,” ujar Soleh.

Ia mengingatkan bahwa pada 2008, Gus Dur sempat memecat Muhaimin Iskandar dari jabatan Ketua Umum PKB. Namun, Muhaimin melawan keputusan tersebut dan membawa perkara ke ranah hukum.

Pengadilan kemudian menyatakan pemecatan itu tidak sah dan mengembalikan posisi Muhaimin sebagai Ketua Umum.

Menurut Soleh, skenario serupa kini berpotensi terulang di PBNU. Rais Aam dan jajaran Syuriyah disebut telah “memecat” Ketua Umum PBNU, sementara pihak Ketua Umum memilih melawan keputusan tersebut.

“Dalam kasus PKB, pengadilan memenangkan Muhaimin karena Ketua Umum adalah mandataris Muktamar. Yang berwenang mengangkat dan memberhentikan hanya Muktamar, bukan forum lain,” jelasnya.

Soleh menilai, secara hukum negara posisi Ketua Umum PBNU saat ini memiliki kekuatan yang sama, karena dipilih langsung oleh peserta Muktamar.

Oleh sebab itu, pemecatan melalui rapat pleno Syuriyah dinilainya memiliki celah besar untuk digugat dan berpotensi kalah di pengadilan.

Selain itu, Soleh juga memperingatkan bahaya munculnya “muktamar kembar” jika konflik berlanjut tanpa solusi. Ia mencontohkan pengalaman PKB yang sempat memiliki dua muktamar tandingan, yakni Muktamar Parung yang didukung kubu Gus Dur dan Muktamar Ancol yang digelar kubu Muhaimin Iskandar.

“Di tengah saling gugat itu, Muhaimin datang ke Kemenkumham dan mendapatkan SK baru. Akhirnya PKB sepenuhnya bergeser ke kendali Muhaimin. Dalam kondisi terdesak, langkah serupa sangat mungkin dilakukan di PBNU,” katanya.

Soleh juga menyinggung faktor ekonomi sebagai pemicu konflik, khususnya terkait isu konsesi tambang. Ia mengibaratkan situasi ini seperti Perang Uhud, ketika pasukan kalah karena tergoda merebut harta rampasan sebelum perang benar-benar usai.

“Isu tambang ini simalakama. Elit-elit seolah lupa pada core business NU sebagai penjaga moral, lalu terjebak pada perebutan sumber daya duniawi,” kritiknya.

Menutup analisanya, Soleh menyayangkan dampak konflik elit terhadap marwah Nahdlatul Ulama.

Ia menilai, tanpa islah  yang nyata yang menurutnya kini semakin sulit terwujud NU, berisiko kehilangan legitimasi moral di mata publik.

“Publik menertawakan. Organisasi yang seharusnya bicara moral, elitnya justru saling menjatuhkan. Siapa pun yang menang, citra NU sebagai penjaga moral bangsa sudah telanjur runtuh,” pungkas Soleh.

(ameera/arrahmah.id)

Dualisme PBNUKonflik PKBEra Gus Dur–Cak Imin